Beranda » Budaya » Gamolan Pekhing, Alat Musik Tradisional Lampung Barat
Gamolan Pekhing

Gamolan Pekhing, Alat Musik Tradisional Lampung Barat

Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan suku bangsa dan budaya. Dari generasi ke generasi, tradisi budaya itu tetap lestari dan masih memiliki pengaruh di tatanan sosial. Salah satu yang masih bisa dikenal di era modern ini adalah alat-alat musik tradisional. Dari Sabang sampai Merauke, berbagai alat musik tradisional diperkenalkan seperti salah satunya adalah gamolan pekhing dari Lampung Barat.

Sebagai alat musik tradisional, gamelan ini memang memiliki keunikan yakni dibuat dari bilah bambu. Tentunya bukan bambu biasa, bambu yang dipakai merupakan jenis bambu betung yang tumbuh di kawasan Lampung Barat. Seperti bentuk alat musik tradisional lainnya, cetik dimainkan dengan cara dipukul sehingga menghasilkan alunan bunyi yang berbeda-beda.

Baca juga Tradisi Talo Balak, Instrumen Penyempurna Adat Budaya Lampung

Jika melihat sekilas, tampilan gamelan khas Lampung ini memang begitu mirip dengan alat-alat musik tradisional suku Jawa. Di mana bilah-bilah bambu yang bisa mengeluarkan bunyi berbeda saat dipukul itu, disusun sedemikian rupa dan diikat dengan senar. Saat ini, gamelan dari bambu ini masih sering dimainkan di Lampung khususnya kawasan Lampung Barat saat momen-momen tertentu, terutama kegiatan adat.

Asal Muasal Gamolan Pekhing

Menjadi warisan budaya kuno, sebagian pakar Antropologi percaya bahwa gamolan yang menjadi alat musik tradisional Jawa itu merupakan pengembangan dari gamolan milik kerajaan Sriwijaya yang masuk di Dinasti Syailendra. Namun dalam kisah-kisah adat yang diceritakan secara turun-temurun, disebutkan kalau gamolan pekhing dibuat oleh seorang bujang tua yang hidup sendirian di dalam hutan.

Diduga kuat, gamolan berasal dari Sekala Bekhak di desa Kembahang, kabupaten Lampung Barat. Sebelum era tahun 90an, gamolan hanya dipakai dalam ritual adat termasuk penyambutan tamu. Tidak adanya standar baku dalam penataan nada membuat alat musik pentatonis ini dilupakan. Hal ini membuat seniman gamolan seperti Syafril Yamin mulai membakukan tata nada atau notasi pada cetik ini.

Untuk bisa memainkan gamolan pekhing dan membuatnya seirama dengan lagu yang dibawakan penyanyi dibutuhkan keterampilan khusus. Baik di pembuat dan yang memainkannya. Untuk itu dibutuhkan ketekunan baik saat membuat gamolan atau belajar menguasainya. Tak heran kalau memang hanya bambu betung yang dibolehkan untuk dibuat menjadi cetik.

Bambu yang biasa digunakan sebagai bahan Gamolan

Tidak semua bambu betung bisa serta-merta menjadi bahan baku utama alat musik ini, karena bambu betung yang digunakan haruslah berkualitas terbaik. Bambu betung kualitas terbaik kerap disebut sebagai mati temegi yang bisa ditemukan di hutan-hutan, karena sudah tua dan mati sendiri. Setidaknya butuh penyimpanan sekitar enam bulan sampai kemudian dipotong dan dibelah sesuai kebutuhan nada.

Dilestarikan, Menuju UNESCO

Perkembangan zaman memang membuat popularitas alat musik tradisional ini sedikit memudar terutama di kalangan generasi muda. Namun kini semakin banyak saja upaya pelestarian dengan mengenalkan cara memainkan gamolan pekhing. Yang harus Anda tahu dari alat musik enam nada ini adalah, semakin tebal dan pendek bilah bambunya maka makin tinggi nadanya. Sebaliknya jika makin tipis dan tinggi, nadanya justru makin rendah.

Ada beberapa jenis tabuhan yang berlaku di alat musik ini. Seperti Tabuh Sambai Agung untuk menyambut tamu, Tabuh Taghi untuk mengiringi tarian sampai Tabuh Labung Angin yang dibunyikan saat ritual pernikahan. Kini berkat keuletan para praktisi seni, gamolan pekhing akan dibawa oleh pemerintah setempat menuju UNESCO agar menjadi warisan budaya dunia dilestarikan pada akhir Maret 2019 lalu.